Mendapat undangan kawinan bagi saya adalah hal yang meresahkan. Bukan karena sebal ditanya dengan pertanyaan, "Kapan menyusul?" Sejak usia semakin menua, tidak ada lagi yang berminat mengajukan pertanyaan ini ke saya, tapi karena bingung dengan pakaian yang harus dikenakan. Saya bukanlah orang yang senang mengoleksi pakaian resmi seperti gaun, kebaya atau baju pesta lainnya, tidak juga memiliki tas imut cantik atau clutch lucu yang serasi ditenteng kala acara resmi seperti kawinan, atau sandal dan sepatu shiny pelengkap busana. Saya tidak memiliki benda-benda itu karena jarang digunakan, terlalu gerah dipakai dan sama sekali tidak praktis, serta terlalu girly untuk selera saya yang macho.
Jadi ketika undangan kawinan mendarat di meja, dan itu sudah berkali-kali terjadi, saya memilih menarik selembar amplop, mengisinya dengan uang sumbangan dan menitipkannya ke teman yang datang. Untungnya beberapa rekan kantor sangat rajin datang ke acara kawinan, bahkan walau jaraknya jauh sekalipun. Jadi acara menitip amplop ini tidak pernah mengalami kendala dan saya selalu memiliki alasan, "Aduh rumah aku jauh banget dari lokasi." Alasan ini memang tidak dibuat-buat, rata-rata teman-teman kantor memiliki rumah di daerah Jakarta Timur dan Utara yang jaraknya lumayan jauh dari rumah saya di Jakarta Selatan.
Jadi ketika undangan kawinan mendarat di meja, dan itu sudah berkali-kali terjadi, saya memilih menarik selembar amplop, mengisinya dengan uang sumbangan dan menitipkannya ke teman yang datang. Untungnya beberapa rekan kantor sangat rajin datang ke acara kawinan, bahkan walau jaraknya jauh sekalipun. Jadi acara menitip amplop ini tidak pernah mengalami kendala dan saya selalu memiliki alasan, "Aduh rumah aku jauh banget dari lokasi." Alasan ini memang tidak dibuat-buat, rata-rata teman-teman kantor memiliki rumah di daerah Jakarta Timur dan Utara yang jaraknya lumayan jauh dari rumah saya di Jakarta Selatan.