Biasanya jika keluar dari stasiun MRT di Bendungan Hilir, saya akan berjalan ke arah jalan Dr. Satrio, dari sana akan lanjut naik ojek, atau angkutan umum seperti TransJakarta dan angkot mini. Tapi sejak arah putar balik dibawah jembatan ditutup, tak ada lagi TransJakarta atau angkot mini yang lewat, jadi jika hendak menaiki angkutan umum harus berjalan agak jauh ke halte bis. Akhirnya saya selalu melanjutkan diri naik ojek pangkalan yang banyak parkir di trotoar sepanjang jalan dibawah jembatan. Saya punya langganan tukang ojek, namanya Pak Sobirin. Orangnya sangat baik, ramah dan jika kebunnya sedang panen beliau sering membawakan saya pisang tanduk, kepok atau sukun. Sebagai gantinya, saya kadang memberikan tarif ojek lebih atau oleh-oleh kalau baru saja pulang dari luar kota atau jika ada makanan berlebih di rumah.
Ketika Covid awal melanda Jakarta bulan Maret lalu, jalanan luar biasa sepi dan kantor banyak yang menerapkan work from home, ojek pangkalan pun menghilang, termasuk Pak Sobirin. Karena kondisi pandemi pula, setiap kali ke kantor saya memilih melanjutkan diri menggunakan taksi yang banyak lewat ke arah jalan Dr. Satrio dari jalan Sudirman. Tarif ojek dari stasiun Bendungan Hilir hingga ke depan kantor adalah dua puluh ribu rupiah, walau dengan ojek online tentu saja jauh lebih murah. Naik taksi Blue Bird tarifnya maksimal hanya sepuluh ribu rupiah, tapi selalu saya bayarkan dua puluh ribu rupiah, saya anggap sama saja seperti naik ojek. Tapi perbedaan yang lebih signifikan adalah taksi tentu saja jauh lebih safe dibandingkan ojek dan lebih nyaman.