Jika saja saya bisa mendengar 'curhat' tetangga didepan rumah kala menyaksikan tingkah polah dan perjuangan saya memotret aneka makanan di teras, mungkin saat ini telinga saya sudah sepanas wajan penggorengan. Setiap weekend dan terkadang dipagi hari sebelum berangkat ke kantor, berdaster dengan rambut dijepit awut-awutan, saya beraksi diteras bersama sebuah kamera, tripod dan aneka pernak-pernik propping yang heboh. Saya sangat yakin dari jendela tingkat atas dengan mudah si tetangga bisa melihat semua aksi yang saya lakukan di teras walau selama ini jendela-jendela tersebut selalu tertutup rapat.
Teras rumah Pete bahkan sudah tidak berbentuk teras umumnya. Dua buah meja besar untuk meletakkan background kayu nangkring disana dan sebuah kursi untuk memanjat keatas meja kala harus memotret dari sisi atas berada dibaliknya. Tampilannya sudah persis TPU 'dadakan' yang didirikan disudut-sudut jalanan kala pilkada. Hal yang 'memalukan' lainnya adalah seringkali jika perut sudah kelaparan berat, dan makan harus tertunda karena masakan perlu difoto terlebih dahulu, maka saya menyantapnya langsung di teras saat itu juga. Saya yakin, betapa bingungnya si tetangga ini dengan adegan-adegan yang terjadi. Untungnya pagar rumah yang tinggi menghalangi pemandangan orang yang berlalu-lalang dijalanan, jadi saya tak terlalu peduli jika hanya tetangga didepan rumah saja yang menyaksikannya. 😄