Hujan, banjir, dan wabah demam berdarah. Problematika di Jakarta dan banyak daerah lain di Indonesia jika musim penghujan tiba. Di lingkungan rumah saya, sejak dua minggu lalu, banyak warga berteriak di WA grup RT, meminta dilakukan fogging karena anak-anak mereka terkena DBD. Pak Safrudin, ketua RT, cukup sigap jika ada keluhan warga seperti ini, atau keluhan warga seperti itu serta keluhan warga seperti lainnya. Percayalah, sejak saya dimasukkan kedalam WA grup RT, maka handphone setiap hari selalu mengirimkan pesan seputar kompleks. Banyak informasi yang dibagikan, misal keluhan warga ketika kontraktor fiber optic satu perusahaan meninggalkan jalan yang amburadul tak dibenahi, pengajian di rumah Ibu A hingga Z dan meminta izin mobil tamu bisa parkir didepan rumah warga, jalan ditutup karena car free day, hingga permintaan datang ke rumah Pak RT guna pengambilan tagihan PBB.
Saya, tak pernah bercuit sepotong pun di grup. Tapi saya selalu membaca informasi yang dikirimkan, termasuk juga ketika warga diminta bersiap membuka pintu gerbang selebar mungkin agar petugas fogging bisa menyemprot setiap senti rumah dengan racun. Saya... Kabur, tentu saja. Sejak pagi melarikan diri ke kantor, walau dari kejauhan telah mendengar suara mesin diesel alat fogging yang dinyalakan. Saya tak menginginkan sejengkal pun area didalam rumah ditempelin dengan zat kimia pembunuh nyamuk. Cukup lah sudah jika halaman - yang penuh dengan tanaman yang ditanam secara organik, akhirnya menjadi tidak organik lagi - terkena asap fogging. Setiap hari, hidup saya sudah bergelimang dengan racun. Mulai dari asap polusi jalan, baygon yang disemprotkan ke seantero rumah, hingga pestisida didalam sayuran dan buah yang saya konsumsi. Buah atau sayur organik tobat mahalnya, tak sanggup terbeli dengan gaji karyawan selevel saya.